I.
Menurut catatan almarhum Mgr. Demarteau MSF[1],
dikatakan bahwa pada tahun 1312 terdapat seorang Pastor Fransiskan bernama
Oderic de Pordenone[2]
yang telah menjadi misionaris pertama berkarya di bumi Kalimantan atau Kerajaan
Borneo. Kemudian pada tahun 1688 sampai tahun 1761 misi Katolik dilanjutkan
oleh Ordo Theatin yang berpusat di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Pastor
Antonino Ventigmilia dicatat di dalam Majalah ”The Brunei Museum Journal, tahun
1972 dengan judul “The Mission of Father
Antonino Ventigmilia to Borneo” dikatakan bahwa beliau telah berkarya juga
dari tahun 1688 sampai dengan 1692. Beliau berkarya tidak hanya di Banjarmasin
tetapi juga sampai ke pedalaman. Beliau sangat dekat dengan orang Dayak di
pedalaman dan karena itulah ia dimusuhi
oleh Sultan Banjarmasin. Kematian P.Antonino Ventigmilia tidak jelas tentang
bagaimana terjadinya dan dikubur di mana oleh orang Dayak pedalaman saat itu,
hanya kemungkinan ia dibunuh oleh orang suruhan Sultan Banjarmasin. Hanya saja ada berita dari beberapa pendeta
Protestan Gereja Dayak Evangelis( sekarang Gereja Kalimantan Evangelis) bahwa
di pedalaman Kalimantan dalam upacara agama asli orang Dayak yakni Kaharingan
telah dipakai “tanda salib” yang mirip dengan tanda salib milik Gereja Katolik.
Ketua kampung di pedalam juga mengakui bahwa tanda tersebut memang warisan dari
misi Gereja Katolik pada masa P.Antonino Ventigmilia. Tanda salib digunakan oleh orang Dayak sebagai fetis(jimat) yang berkhasiat magis untuk Tolak Bala(mengusir roh-roh
jahat)
yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak atau cacak
burung(bahasa banjarnya)[3]. Biasanya tanda salib terdapat di setiap tiang rumah dan
sebagian lagi sebagai motif tato pada tangan. Itu artinya pewartaan Injil telah
meresap ke dalam hati orang Dayak, meskipun sempat
terputus pewartaannya. Orang dayak menerima Kekatolikan.
Pada bulan Juni 1970, dua orang pastor
dan satu bruder dari ordo Kapusin tiba di Banjarmasin, akan tetapi mereka tidak
mau berkarya di situ sebab di tempat itu hampir seluruh warganya beragama
Islam. Mereka memilih untuk berkarya di Laham Kalimantan Timur sekarang. Sampai
dengan tahun 1926, mereka secara teratur sekali atau dua kali dalam setahun
dari Laham berangkat dari Laham untuk mengadakan kunjungan turne ke kota
Banjarmasin dan juga sampai masuk ke
pedalaman. Yang mereka kunjungi yakni mulai dari kampung Samarinda, Tarakan,
kota Banjarmasin, Martapura, Stagen di Pelaihari, lalu dilanjutkan ke
Kandangan, Sampit, Muara Teweh dan Puruk Cahu. Muara Teweh nantinya menjadi
stasi pusat bagi pelayanan misi Gereja Katolik di Daerah Aliran Sungai Barito.
Pada tanggal 1 Januari 1926, 3 orang
misionaris MSF yakni P. Fr. Groot MSF, P. J.v. d. Linden MSF dan Bruder Egidius
Stoffel MSF dari Belanda berangkat menuju Kalimantan. P. Fr. Groot MSF langsung
diangkat oleh Pater Jenderal MSF P. A. Trampe MSF menjadi superior/propinsial
mereka ketika sudah berkarya di Kalimantan. Mereka tiba di Lahan tanggal 27
Februari 1926. Di sini mereka disambut dengan hangat oleh dua pastor dan dua
bruder Ordo Kapusin beserta 5 suster
Fransiskanes dari Veghel dan seluruh orang Dayak di Laham. Pada masa inilah
terjadi pengambil alihan dari Kapusin ke tangan MSF. Kapusin bergeser ke
Kalimantan Barat yakni Pontianak sekarang. Para misionaris pertama Kongregasi
MSF inilah yang kemudian melanjutkan karya pelayanan Ordo Kapusin untuk
melayani umat Dayak Katolik di Laham, lalu mereka juga berturne ke hulu Sungai
Mahakam, ke kampung Samarinda, Tarakan, kota Banjarmasin, Martapura, Stagen di
Pelaihari, lalu dilanjutkan ke Kandangan, Sampit, Muara Teweh dan Puruk Cahu.
Mereka berkarya dengan senang hati seperti para pendahulu mereka. Misalnya
saja, tanggal 24 Juni 1929 P.Fr.Groot MSF yang sedang menderita sakit TBC dan
rencananya beliau akan kembali ke negeri Belanda untuk berobat, tetap bersikap
keras untuk terus mengunjungi semua umat Katolik di stasi-stasi. Lalu berita
menyedihkan yakni tanggal 18
September Sr. Alexia Hellings dari
kongregasi Suster Fransiskanes dari Veghel
meninggal dunia di Samarinda. Yang mengejutkan lagi tanggal 10 Oktober
1937, P. A.v. Rossum MSF hilang di dalam hutan dekat Tering. Seluruh kampung
Dayak membunyikan gong sebagai tanda bahwa ada musibah yakni seorang pastor MSF
hilang dan dari banyak pencarian pastor tersebut pun tidak ditemukan jejak dan
mayatnya. Namun baru tanggal 1 November 1937, ia ditemukan oleh orang Dayak
dalam keadaan sangat lemah. Begitulah nasib para misionaris pertama Kalimantan.
Selanjutnya Gereja Katolik masuk ke
daerah Barito khususnya pinggiran aliran sungai Barito, juga sangatlah tidak
mudah karena untuk bisa diterima dengan baik harus mengenal budaya daerah
setiap desa yang masing mempunyai keunikannya sendiri. Perjalanan misi Katolik
di mulai tahun 1950, di mana saat itu masih Vikariat Banjarmasin yang baru saja
dipisahkan dengan Vikariat Samarinda. Oleh pihak keuskupan dibagi menjadi 5
wilayah Pastoral yakni Daerah Aliran Sungai Barito, Barito Timur, Sampit, dan
Palangka Raya. Daerah sungai Barito meliputi Muara Teweh dan sekitarnya sampai
dengan Puruk Cahu yang sekarang ini sudah menjadi Kabupaten Murung Raya.
Kunjungan pastoral saat itu lebih sering
dilakukan di Stasi Muara Teweh sampai
dengan tahun 1954. Pastor yang mengunjungi saat itu yakni P. G. Kaperti MSF
yang lalu digantikan oleh P. J.Zoetebir MSF yang mana pastor inilah yang
sesungguhnya diakui oleh orang-orang kampung sebagai perintis Karya Misi Gereja
Katolik di daerah ini. Tahun berikutnya menyusul seorang lagi misionaris MSF
yakni P. Wrzesniewski MSF dari Polandia yang membentuk stasi baru di antaranya
Stasi Buntok dan Stasi Puruk Cahu. Umat Katolik di sini selalu mendapat
kunjungan sehingga semakin banyak orang Kaharingan yang tertarik juga melihat
apa yang dilakukan oleh para pastor Katolik masa itu. Katolik semakin
berkembang dan memunculkan beberapa umat yang dengan suka rela membantu dalam
proses katekese umat, mereka itu juga lah yang nantinya memperkenalkan Agama
Katolik kepada sesamanya. Diperkirakan lebih dari 30 desa telah dijangkau oleh
para perintis pertama waktu itu, daerah Sungai Teweh, Sungai Montalat dan
Sungai Ayuh. Kabar Gembira tentang Yesus Kristus telah masuk dan diterima
dengan baik oleh orang Dayak Dusun.
Misi Katolik juga dirintis oleh para
suster SFD, di mana mereka membuka susteran dan poliklinik di Buntok lalu pada
tanggal 18 April 1969, seorang misionaris MSF juga yakni P. Herman Staclhacke MSF
bekerja sama dengan Resort Gereja Kalimantan Evangelis yang ada di Buntok
bersama-sama mengelola SMP dan sebagai kepala sekolahnya yakni Sr. Dominique SFD. Lalu pada tahun 1978
Buntok menjadi sebuah stasi tetap dengan pastor pertama P. Stefan MSF dari
Jerman.
Dalam perjumpaan dengan agama Katolik,
orang Dayak Dusun mengalami perubahan sikap mental yang disebut dengan tobat.
Perubahan mental secara total itu mempengaruhi sikap dan tindakan manusia
secara keseluruhan[4].
Yakni dari kesatuan yang agak tertutup dan belum mencari hubungan dengan
masyarakat luar[5],
orang Dayak Dusun mulai memaksakan diri mereka untuk memperbarui diri dengan
membuka masuknya budaya baru. Hal itu bisa melalui cara berdoa dengan Tuhan, simbol
yang digunakan dan alat liturgi yang digunakan termasuk cara berbicara dengan
orang lain semakin baik. Meskipun secara umumnya mereka masih mentaati dan
menghormati segala tradisi adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Penerimaan akan Gereja Katolik boleh dikatakan sangat lambat karena masih
banyak orang Dayak Dusun yang tidak sekolah dan tidak mempunyai keterampilan
hidup. Inilah yang membuat mereka dengan mudahnya mereka kembali ke kepercayaan
Kaharingan. Mereka masih merasa nyaman hidup di dalam keluarga dengan
kepercayaan yang sama pula. Para pastor tidak pernah memberikan aturan yang
tegas kepada orang Dayak dalam proses sebelum dibaptis. Mereka dengan mudahnya
kembali ke kepercayaan semula atau pindah ke Protestan bahkan ada juga yang
masuk Islam.
Menurut saya mewartakan Injil itu
tidak mudah. Setelah kita mendengar kenyataan yang telah lalu, yakni tentang
bagaimana para misionaris awal mewartakan Injil di Kalimantan di mana ada
berbagai tantangan, baik berupa sikap penolakan dari Orang Dayak terhadap
kepercayaan baru, sikap para penguasa di suatu daerah, situasi yang menakutkan
karena masih banyak hutan dan dengan jarak tempuh ke rumah orang Dayak yang
begitu jauh. Untuk bisa melakukan itu semua
kiranya kita membutuhkan suatu sikap penuh keberanian dan pasrah kepada
Allah.
Satu hal yang penting lagi yakni
tentang cara memasuki suatu daerah dan beradaptasi dengan budaya yang baru
pula. Menurut saya para misionaris awal telah belajar banyak tentang sikap
orang Dayak di pedalaman, cara hidup mereka, dan bahasa pergaulan sehari-hari
mereka. Para misionaris awal itu sungguh hebat. Dengan keterbatasan sarana dan
prasana mereka tetap setia melayani umat yang sudah merindukan Ekaristi Kudus
di kampung mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Dhavamony,
M.,
Fenomenologi
Agama, Yogyakarta: Kanisius.1995.
Mgr. Demarteau MSF.,
Mereka itu datang dari jauh:
Sejarah Misionaris Keluarga Kudus di Kalimantan.Banjarbaru:
Kongregasi MSF.1997.
[1] Beliau adalah uskup emeritus Keuskupan Banjarmasin yang bertugas dari tahun
1954-1983. Beliau telah menulis buku “Riwayat
MSF Kalimantan” tahun 1994.
[2] Mgr. Demarteau MSF, Mereka itu datang dari jauh: Sejarah
Misionaris Keluarga Kudus di Kalimantan.Banjarbaru: Kongregasi MSF.1997.hlm.1-4.
[3] Op.cit. hlm.27.
[4] Coomans. Mikhail, Manusia Daya: Dahulu, sekarang, masa depan,Jakarta:
Gramedia.1987. hlm. 118.
[5] Ibid.hlm.52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar