Rabu, 13 November 2013

Perjumpaan Agama Katolik dan Kaharingan



       I.


Menurut catatan  almarhum Mgr. Demarteau MSF[1], dikatakan bahwa pada tahun 1312 terdapat seorang Pastor Fransiskan bernama Oderic de Pordenone[2] yang telah menjadi misionaris pertama berkarya di bumi Kalimantan atau Kerajaan Borneo. Kemudian pada tahun 1688 sampai tahun 1761 misi Katolik dilanjutkan oleh Ordo Theatin yang berpusat di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Pastor Antonino Ventigmilia dicatat di dalam Majalah ”The Brunei Museum Journal, tahun 1972 dengan judul “The Mission of Father Antonino Ventigmilia to Borneo” dikatakan bahwa beliau telah berkarya juga dari tahun 1688 sampai dengan 1692. Beliau berkarya tidak hanya di Banjarmasin tetapi juga sampai ke pedalaman. Beliau sangat dekat dengan orang Dayak di pedalaman dan  karena itulah ia dimusuhi oleh Sultan Banjarmasin. Kematian P.Antonino Ventigmilia tidak jelas tentang bagaimana terjadinya dan dikubur di mana oleh orang Dayak pedalaman saat itu, hanya kemungkinan ia dibunuh oleh orang suruhan Sultan Banjarmasin.  Hanya saja ada berita dari beberapa pendeta Protestan Gereja Dayak Evangelis( sekarang Gereja Kalimantan Evangelis) bahwa di pedalaman Kalimantan dalam upacara agama asli orang Dayak yakni Kaharingan telah dipakai “tanda salib” yang mirip dengan tanda salib milik Gereja Katolik. Ketua kampung di pedalam juga mengakui bahwa tanda tersebut memang warisan dari misi Gereja Katolik pada masa P.Antonino Ventigmilia. Tanda salib digunakan oleh orang Dayak sebagai fetis(jimat) yang berkhasiat magis untuk Tolak Bala(mengusir roh-roh jahat) yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak atau cacak burung(bahasa banjarnya)[3]. Biasanya tanda salib terdapat di setiap tiang rumah dan sebagian lagi sebagai motif tato pada tangan. Itu artinya pewartaan Injil telah meresap ke dalam hati orang Dayak, meskipun sempat terputus pewartaannya. Orang dayak menerima Kekatolikan.
Pada bulan Juni 1970, dua orang pastor dan satu bruder dari ordo Kapusin tiba di Banjarmasin, akan tetapi mereka tidak mau berkarya di situ sebab di tempat itu hampir seluruh warganya beragama Islam. Mereka memilih untuk berkarya di Laham Kalimantan Timur sekarang. Sampai dengan tahun 1926, mereka secara teratur sekali atau dua kali dalam setahun dari Laham berangkat dari Laham untuk mengadakan kunjungan turne ke kota Banjarmasin dan  juga sampai masuk ke pedalaman. Yang mereka kunjungi yakni mulai dari kampung Samarinda, Tarakan, kota Banjarmasin, Martapura, Stagen di Pelaihari, lalu dilanjutkan ke Kandangan, Sampit, Muara Teweh dan Puruk Cahu. Muara Teweh nantinya menjadi stasi pusat bagi pelayanan misi Gereja Katolik di Daerah Aliran Sungai Barito.
Pada tanggal 1 Januari 1926, 3 orang misionaris MSF yakni P. Fr. Groot MSF, P. J.v. d. Linden MSF dan Bruder Egidius Stoffel MSF dari Belanda berangkat menuju Kalimantan. P. Fr. Groot MSF langsung diangkat oleh Pater Jenderal MSF P. A. Trampe MSF menjadi superior/propinsial mereka ketika sudah berkarya di Kalimantan. Mereka tiba di Lahan tanggal 27 Februari 1926. Di sini mereka disambut dengan hangat oleh dua pastor dan dua bruder  Ordo Kapusin beserta 5 suster Fransiskanes dari Veghel dan seluruh orang Dayak di Laham. Pada masa inilah terjadi pengambil alihan dari Kapusin ke tangan MSF. Kapusin bergeser ke Kalimantan Barat yakni Pontianak sekarang. Para misionaris pertama Kongregasi MSF inilah yang kemudian melanjutkan karya pelayanan Ordo Kapusin untuk melayani umat Dayak Katolik di Laham, lalu mereka juga berturne ke hulu Sungai Mahakam, ke kampung Samarinda, Tarakan, kota Banjarmasin, Martapura, Stagen di Pelaihari, lalu dilanjutkan ke Kandangan, Sampit, Muara Teweh dan Puruk Cahu. Mereka berkarya dengan senang hati seperti para pendahulu mereka. Misalnya saja, tanggal 24 Juni 1929 P.Fr.Groot MSF yang sedang menderita sakit TBC dan rencananya beliau akan kembali ke negeri Belanda untuk berobat, tetap bersikap keras untuk terus mengunjungi semua umat Katolik di stasi-stasi. Lalu berita menyedihkan yakni  tanggal 18 September  Sr. Alexia Hellings dari kongregasi Suster Fransiskanes dari Veghel  meninggal dunia di Samarinda. Yang mengejutkan lagi tanggal 10 Oktober 1937, P. A.v. Rossum MSF hilang di dalam hutan dekat Tering. Seluruh kampung Dayak membunyikan gong sebagai tanda bahwa ada musibah yakni seorang pastor MSF hilang dan dari banyak pencarian pastor tersebut pun tidak ditemukan jejak dan mayatnya. Namun baru tanggal 1 November 1937, ia ditemukan oleh orang Dayak dalam keadaan sangat lemah. Begitulah nasib para misionaris pertama Kalimantan.
Selanjutnya Gereja Katolik masuk ke daerah Barito khususnya pinggiran aliran sungai Barito, juga sangatlah tidak mudah karena untuk bisa diterima dengan baik harus mengenal budaya daerah setiap desa yang masing mempunyai keunikannya sendiri. Perjalanan misi Katolik di mulai tahun 1950, di mana saat itu masih Vikariat Banjarmasin yang baru saja dipisahkan dengan Vikariat Samarinda. Oleh pihak keuskupan dibagi menjadi 5 wilayah Pastoral yakni Daerah Aliran Sungai Barito, Barito Timur, Sampit, dan Palangka Raya. Daerah sungai Barito meliputi Muara Teweh dan sekitarnya sampai dengan Puruk Cahu yang sekarang ini sudah menjadi Kabupaten Murung Raya.
Kunjungan pastoral saat itu lebih sering dilakukan di  Stasi Muara Teweh sampai dengan tahun 1954. Pastor yang mengunjungi saat itu yakni P. G. Kaperti MSF yang lalu digantikan oleh P. J.Zoetebir MSF yang mana pastor inilah yang sesungguhnya diakui oleh orang-orang kampung sebagai perintis Karya Misi Gereja Katolik di daerah ini. Tahun berikutnya menyusul seorang lagi misionaris MSF yakni P. Wrzesniewski MSF dari Polandia yang membentuk stasi baru di antaranya Stasi Buntok dan Stasi Puruk Cahu. Umat Katolik di sini selalu mendapat kunjungan sehingga semakin banyak orang Kaharingan yang tertarik juga melihat apa yang dilakukan oleh para pastor Katolik masa itu. Katolik semakin berkembang dan memunculkan beberapa umat yang dengan suka rela membantu dalam proses katekese umat, mereka itu juga lah yang nantinya memperkenalkan Agama Katolik kepada sesamanya. Diperkirakan lebih dari 30 desa telah dijangkau oleh para perintis pertama waktu itu, daerah Sungai Teweh, Sungai Montalat dan Sungai Ayuh. Kabar Gembira tentang Yesus Kristus telah masuk dan diterima dengan baik oleh orang Dayak Dusun.
Misi Katolik juga dirintis oleh para suster SFD, di mana mereka membuka susteran dan poliklinik di Buntok lalu pada tanggal 18 April 1969, seorang misionaris MSF juga yakni P. Herman Staclhacke MSF bekerja sama dengan Resort Gereja Kalimantan Evangelis yang ada di Buntok bersama-sama mengelola SMP dan sebagai kepala sekolahnya  yakni Sr. Dominique SFD. Lalu pada tahun 1978 Buntok menjadi sebuah stasi tetap dengan pastor pertama P. Stefan MSF dari Jerman.
Dalam perjumpaan dengan agama Katolik, orang Dayak Dusun mengalami perubahan sikap mental yang disebut dengan tobat. Perubahan mental secara total itu mempengaruhi sikap dan tindakan manusia secara keseluruhan[4]. Yakni dari kesatuan yang agak tertutup dan belum mencari hubungan dengan masyarakat luar[5], orang Dayak Dusun mulai memaksakan diri mereka untuk memperbarui diri dengan membuka masuknya budaya baru. Hal itu bisa melalui cara berdoa dengan Tuhan, simbol yang digunakan dan alat liturgi yang digunakan termasuk cara berbicara dengan orang lain semakin baik. Meskipun secara umumnya mereka masih mentaati dan menghormati segala tradisi adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Penerimaan akan Gereja Katolik boleh dikatakan sangat lambat karena masih banyak orang Dayak Dusun yang tidak sekolah dan tidak mempunyai keterampilan hidup. Inilah yang membuat mereka dengan mudahnya mereka kembali ke kepercayaan Kaharingan. Mereka masih merasa nyaman hidup di dalam keluarga dengan kepercayaan yang sama pula. Para pastor tidak pernah memberikan aturan yang tegas kepada orang Dayak dalam proses sebelum dibaptis. Mereka dengan mudahnya kembali ke kepercayaan semula atau pindah ke Protestan bahkan ada juga yang masuk Islam. 
            Menurut saya mewartakan Injil itu tidak mudah. Setelah kita mendengar kenyataan yang telah lalu, yakni tentang bagaimana para misionaris awal mewartakan Injil di Kalimantan di mana ada berbagai tantangan, baik berupa sikap penolakan dari Orang Dayak terhadap kepercayaan baru, sikap para penguasa di suatu daerah, situasi yang menakutkan karena masih banyak hutan dan dengan jarak tempuh ke rumah orang Dayak yang begitu jauh. Untuk bisa melakukan itu semua  kiranya kita membutuhkan suatu sikap penuh keberanian dan pasrah kepada Allah.
            Satu hal yang penting lagi yakni tentang cara memasuki suatu daerah dan beradaptasi dengan budaya yang baru pula. Menurut saya para misionaris awal telah belajar banyak tentang sikap orang Dayak di pedalaman, cara hidup mereka, dan bahasa pergaulan sehari-hari mereka. Para misionaris awal itu sungguh hebat. Dengan keterbatasan sarana dan prasana mereka tetap setia melayani umat yang sudah merindukan Ekaristi Kudus di kampung mereka.


DAFTAR PUSTAKA


Dhavamony, M.,
Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.1995.
Mgr. Demarteau MSF.,
Mereka itu datang dari jauh: Sejarah Misionaris Keluarga Kudus di Kalimantan.Banjarbaru: Kongregasi MSF.1997.


[1] Beliau adalah uskup emeritus  Keuskupan Banjarmasin yang bertugas dari tahun 1954-1983. Beliau telah menulis buku “Riwayat MSF Kalimantan” tahun 1994.
[2] Mgr. Demarteau MSF, Mereka itu datang dari jauh: Sejarah Misionaris Keluarga Kudus di Kalimantan.Banjarbaru: Kongregasi MSF.1997.hlm.1-4. 
[3] Op.cit. hlm.27.
[4] Coomans. Mikhail, Manusia Daya: Dahulu, sekarang, masa depan,Jakarta: Gramedia.1987. hlm. 118.
[5] Ibid.hlm.52.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar