Orang Dayak
Dusun Bayan
(Kepercayaan dan Perjumpaan dengan Agama Katolik)
I.
Asal mula Orang
Dayak Dusun Bayan
Orang Dusun Bayan adalah salah satu suku
yang tinggal di daerah Sungai Barito(1.000 km) di Provinsi Kalimantan Tengah.
Kata ‘Dusun’ sendiri berasal dari penjajah Belanda sekitar tahun 1898-1930 yang
menyebut Afdeeling Doesoenlandeen(Tanah
Dusun). Afdeeling adalah sebuah
wilayah administratif setingkat
kabupaten pada masa itu. Sedangkan ‘Bayan’ berarti daerah dengan banyak Burung
Nuri-nya. Nama ‘Barito’ berasal dari nama Onder
Afdeeling Barito(daerah aliran
sungai Barito). Lalu Tanah Dusun adalah sebutan bagi suatu kawasan
daerah hulu kota Mengkatip(daerah Dayak Bakumpai sekarang Kabupaten Barito
Kuala) dan Dusun pada awalnya masih satu dan itu disebut Distrik Becompaiji Dousson sebelum tahun 1898. Ibu kota Afdeeling Doesoenlandeen saat itu yakni
Muara Teweh yang sekarang menjadi ibu kota dari Kabupaten Barito Utara. Orang
Dayak Dusun terdiri atas 8 suku-suku kecil[1]
yakni: Dusun Witu, Dusun, Bayan Kayan, Karawatan, Dusun Taboyan(kakak tertua Dayak Dusun), Malang,
Karamaun dan Dusun Daya(Dusun Bayan di Barito Tengah). Selanjutnya orang Dusun
juga terdapat di Sabah Malaysia yakni Dayak Idaan yang terbagi menjadi 6
suku-suku kecil lagi yakni Bundu, Membakut, Papar, Putatan, Tenggilan, Tuaran.
Semuanya itu berinduk pada satu suku Dayak di Kalimantan yakni Suku Dayak
Ngaju(lingua franca). Lalu, Suku
Dayak Ngaju berasal dari suku Dayak Ot Danum[2](leluhurnya).
Leluhur mereka itu yang menurut sejarahnya berasal dari dataran tinggi Yunan China Selatan, Taiwan, dan sebagian lagi dari Indochina, seperti Burma, Thailand dan
lain-lain.Yang
pasti bahasa Dayak Dusun meliputi enam puluh suku kecil-kecil[3].
Kesamaan bahasa biasanya hanya pada beberapa kata, dan penyebutan angka, misalnya, makan=kuman, tidur=mandre,
saya=aku, mandi=mandrus,mandui, pantat=para, satu=isa’, empat=epat/ opat,
sedangkan yang lainnya berbeda. Kedudukan Damang(kepala
adat) sangat istimewa dan dibutuhkan dalam memimpin suatu kampung.
1.1
Lokasi
Sekarang orang
Dusun Berada di Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara tepatnya di Desa
Pendreh, Desa Lemo, Desa Pararawen, Desa Buntuk, Desa Bintang Ninggi dan Desa
Butong. Kabupaten Barito Utara berada di
daerah khatulistiwa yakni pada posisi 114A0 20 a€TM -115 A055 a€ TM
Bujur Timur dan 0A049 a €TM Lintang Utara - 1A027a €TM Lintang
Selatan. Suhu 22,94-32,450C. Luas wilayah 8.300 Km2
1.2
Jumlah
warga
Diperkirakan
saat ini berjumlah sekitar 5000 jiwa dan sekarang sudah banyak yang menikah
dengan warga pendatang. Mata pencaharian mereka yakni perikanan, peternakan,
pertanian, kerajinan ayaman, berdagang dan sekarang sudah ada yang menjadi PNS
dan pejabat daerah. Mereka hidup di sekitar tepian sungai pada umumnya. Upacara
adat terdiri dari: Bakatane(perjodohan),
bakasaki(pernikahan), mampung(kehamilan),
kelahiran anak, Balian(penyembuhan
penyakit), ngogang(penguburan) dan Wara(peringatan
orang meninggal).
1.3
Bahasa
Salah satu dari
rumpun bahasa Melayu-Polinesia yang terdapat pula kemiripan dengan bahasa
kebangsaan Madagaskar yakni bahasa Malagasi(sekitar 70%).
Dalam percakapan sehari-hari orang Dayak ini menggunakan bahasa Dusun(Bayan).
II.
Kepercayaan asli
orang Dusun Bayan
2.1
Agama
Resmi masyarakat Dusun Bayan
Agama
asli orang Dayak Dusun Bayan adalah agama Helu atau Kaharingan[4].
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen atau Sangiang(bahasa orang Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’
Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing
atau Pohon Kehidupan. Pohon Batang Garing berbentuk seperti tombak dan menunjuk
tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air
suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas
dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh
satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.
Buah Batang Garing ini,
masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap
ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja
Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Bunu[5].
Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk
menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu
menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tempat bertumpu Batang Garing
adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama
sebelum manusia diturunkan ke bumi. Disinilah dulunya nenek moyang manusia,
yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka
diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa
dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air
manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lewu Tatau(surga).
Dengan demikian sekali lagi
diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang
bersifat duniawi. Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang
melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung
enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit(Yang Mahakuasa) yang merupakan sumber
segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah
keseimbangan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan
manusia dengan Tuhan.
Kaharingan menjadi dasar adat istiadat dan budaya mereka.
Kaharingan hingga saat ini masih dianut oleh sebagian besar orang Dayak Dusun,
walau pada kenyataannya, tidak sedikit mereka yang telah menganut agama Islam,
Kristen, Katolik. Tradisi lama dalam hidup keseharian mereka masih melekat erat
tidak hanya dalam bahasa, gerak-gerik, simbol, ritus, serta gaya hidup, namun
juga dalam sistem nilai pengertian dan pandangan mereka dalam memaknai
kehidupan.
Orang
Dayak Dusun Bayan percaya bahwa Kaharingan diturunkan dan diatur langsung oleh
Ranying Hatalla. Keyakinan tersebut hingga saat ini tetap dianut dan ditaati
oleh pemeluknya secara turun-temurun. Bagi mereka, Balai Basarah(Tempat pertemuan) berfungsi sebagai tempat untuk
beribadah. Ibadah rutin umat Kaharingan dilakukan setiap Kamis atau malam
Jumat. Malam
Jumat disebut Malem Nyirom. Di mana setiap keluarga Dusun
Bayan, malam itu
tidak boleh mencuci piring, mangkok dan mengasah pisau atau ha-hal yang berbau
tajam berupa parfum, semuanya harus dibiarkan begitu saja. Satu hal lagi yakni
tidak boleh bersiul. Sebab kalau bersiul akan memanggil roh jahat untuk
mengambil nyawa kita dan kita bisa langsung mati di tempat. Roh itu yakni Bala(roh jahat)
yang berkeliaran sekitar jam magribnya umat Islam. Katanya,
menurut mitos sahabat orang dayak yakni penunggu rumah-rumah akan memakan
sisa-sisa makanan kita langsung dari tempat cucian. Baru pada esok harinya, tiap
keluarga boleh mencuci semuanya.
Pembagian Alam dalam Kaharingan
adalah sebagai berikut:
- Alam Atas(Lewu Tatau Tahta kuasa Ranying Hatalla)
- Pantai Danom Kalunen( bumi tempat manusia) ialah tempat kehidupan sementara selama manusia masih bernafas, tetapi kelak setelah mati manusia akan kembali pulang ke Lewu Tatau
- Alam Bawah(dunia di bawah tanah dan di bawah air, yang menjadi tempat bagi Kalue tunggal tusoh atau penguasa tumbuh-tumbuhan. Biasanya ia diberi kalangkang ancak(sesajian) yang digantung pada pohon besar atau langsung diceburkan ke air.
Hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah
upacara Wara yaitu ritual kematian
tahap akhir dan upacara Basarah. Menurut
kepercayaan orang Dayak Bayan bahwa di atas puncuk Gunung Lumut itulah hidup
roh-roh nenek moyang(liyau) yang
sudah meninggal[6].
Bisa dikatakan bahwa menurut kepercayaan Kaharingan puncak dari gunung tersebut
adalah pintu masuk ke surganya orang Dayak Dusun Bayan setelah upacara Wara. Di situ Roh nenek moyang mereka
sudah tidak berwujud manusia lagi melainkan sudah berwujud kupu-kupu, burung,
udang, lebah, semut dan lai-lain yang bisa hidup di gunung lumut. R.I Made
Sudhiarsa mengatakan: “Kepercayaan kepada
leluhur didasarkan atas anggapan bahwa makhluk manusia terdiri atas badan dan
jiwa. Pada waktu meninggal, jiwa terbebas dari badan dan tetap berpartisipasi
dalam urusan manusia”[7].
Inilah sebabnya orang Dayak Dusun Bayan tidak bisa meninggalkan begitu saja
kepercayaan mereka, itu adalah karakteristik budayanya yang didasarkan atas
keturunan(etnis).
Berikut sejumlah buku suci yang
memuat ajaran dan juga seperangkat aturan hidup penganutnya:
§ Panaturan(sejenis kitab suci)
§ Talatah
Basarah(kumpulan doa)
§ Tawar, petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara
menabur manyangen Tingang(beras).
Beras adalah perantara manusia dengan Ranying Hatalla dan pengantara manusia
dengan leluhurnya.
§ Buku Bakasaki(Pemberkatan
Perkawinan), dan
§ Buku Panyumpahan(Pengukuhan untuk acara pengambilan
sumpah jabatan)
Di luar buku suci di atas, dalam
melakukan Basarah, mereka juga
menggunakan Sangku atau dalam bahasa
Sangiangnya disebut Sangku Tambak Raja
Saparanggun Dalam Kangatil Bawak Lamiang yang ditempatkan di atas meja
kecil. Posisinya haruslah lebih tinggi
dari lantai tempat duduk umat. Lalu di atas meja tersebut pula diberi alas kain
yang bersih dengan banyak warna selain warna hitam. Letak Sangku haruslah di tengah-tengah umat saat basarah berlangsung. Umat Kaharingan percaya bahwa Sangku Tambak Raja adalah perwujudan
dari seluruh kemahakuasaan dari Ranying Hatalla. Itulah simbol
dari penyatuan batin umat dengan Ranying Hatalla.
Beberapa sarana Basarah
yang harus ada dalam kepercayaan umat Kaharingan:
·
Sangku
·
Weah(beras)
·
Dandang Tingang(bulu
ekor burung Tingang)
·
Sipa(giling
pinang)
·
Ruku/Rukun Tarahan(rokok)
·
Bulau Pungkal Raja(uang
logam yang diletakkan di dalam Sangku)
·
Weah Bio(beras
terbaru)
·
Undus Tanak(minyak kelapa)
·
Tampung Tawar(tirtha)
·
Parapen(perapian)
·
Garu, Manyan dan dupa
·
Banang Lapik Sangku(kain
alas Sangku)
·
Telui piak manta(telur
ayam yang tidak direbus)
·
Unge Sukup Masam(bermacam-macam
bunga)
Selama beribadah, mereka menyanyikan
Kandayu(kidung). Lazimnya ada 4 jenis
kandayu yakni: Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja, Kandayau Mantang Kayu Erang,
Kandayu Parawei dan Kandayu Mambuwur
Weah Bio(saat menabur beras ke udara).
Umat Kaharingan yakin bahwa setiap
orang dalam kehidupannya mempunyai tugas dan misi tertentu. Misi utama Kaharingan
ialah “mengajak manusia menuju jalan yang
benar dengan berbakti serta mengagungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan
perbuatan”[8].
Oleh karena itu, manusia juga mempunyai tanggungjawab yang harus dilaksanakan
yakni melaksanakan misi kehidupan dengan sempurna. Untuk mencapai hal tersebut,
“lahir dan batin harus selalu bersih”[9].
Artinya penyucian diri sangatlah penting bagi setiap manusia di dunia ini,
sehingga ritual hapalas(mengoleskan
atau mengusap darah binatang kurban berupa babi atau ayam putih) dalam
Kaharingan dilakukan terus menerus secara turun temurun.
Kaharingan mengenal
tiga relasi yang harus dijaga keharmonisannya[10]
yakni:
1.
Hubungan manusia dengan Ranying
Hatalla
Dalam ajaran Kaharingan
dinyatakan bahwa hubungan manusia dengan
Ranying Hatalla: Penyang ije kasimpei,
penyang Ranying Hatalla Langit artinya beriman kepada Yang Tunggal yakni
Ranying Hatalla.
2.
Hubungan manusia dengan manusia
lainnya baik secara kelompok maupun individu
Hatamuei
lingu nalata artinya saling mengenal, saling
tukat pengalaman dan pikiran dan saling tolong-menolong. Selanjutnya Hatindih kambang nyahun tarung mantang
lawang langit artinya berlomba-lomba untuk menjadi manusia baik agar
diberkati oleh Ranying Hatalla.
3.
Hubungan manusia dengan alam semesta
Sebagai ciptaan Ranying Hatalla yang
paling mulia dan sempurna, manusia wajib menjadi teladan bagi makhluk lainnya.
Segala keajaiban yang terjadi adalah sarana untuk lebih mengetahui dan
menyadari kebesaran dari Ranying Hatalla. Semua makhluk menyadari bahwa hanya
Ranying Hatalla saja yang patut disembah.
Beberapa Dosa berat dalam kehidupan manusia[11]
ialah:
·
Merampas
·
Mengambil isteri orang
·
Mencuri
·
Merampok
·
Ketidakadilan dalam memutuskan
perkara bagi mereka yang berwenang memutuskannya, yaitu para Kepala Kampung,
Kepala Suku dan Kepala Adat
·
Tindakan tidak adil atau menerima
suap atau uang(sorok) bagi mereka
yang bertugas mengadili perkara di Pantai
Danum Kalunen(bumi)
Dalam kaharingan dikenal Lewu Tatau(surga), sedangkan neraka
tidak dikenal sama sekali. Mereka hanya mengetahui bahwa bila melakukan
pelanggaran atau ngalanggar pantangan dari
suatu aturan yang sudah ditetapkan oleh Ranying Hatalla, mereka akan mengalami
malapetaka yang terkadang langsung dialami dan ada pula yang perlahan namun
pasti. Ini membuat umatnya merasa takut.
2.2
Kepercayaan
Tradisional akan keberadaan, peranan dan pengaruh roh-roh dan aneka makhluk
gaib
Orang
Dayak percaya bahwa di dunia ini banyak terdapat roh-roh halus. Mereka percaya
kepada: Sangiang(roh yang tinggal di
tanah dan udara); Timang(roh yang
tinggal di batu keramat); Tondoi(roh
yang tinggal di bunga); Kujang(roh
yang tinggal di pohon); Longit(roh
yang tinggal di mandau-mandau). Mereka itu disebut Ganan
Taneranu. Mereka adalah para penunggu, penghuni, penjaga
suatu tempat(batu,
pohon beringin, gua, air sungai dan laut bahkan langit).
Mereka itu semuanya harus diberi sesajian supaya mereka tetap setia menunggu
bahkan tidak mengganggu atau marah dengan memberi suatu penyakit yang tidak
bisa disembuhkan oleh bantuan medis di rumah sakit manapun. Satu-satunya cara
untuk sembuh yakni orang yang sedang mengalami sakit tersebut harus memohon
maaf dan memberi sesajian berupa beras 3 warna
atau ayam putih yang panggang atau ayam putih yang langsung disembelih lehernya
di dekat tempat itu juga. Jadi, Roh nenek moyang Suku Dayak sangat berpengaruh pada
kehidupan.
Berikutnya Tambahgahan(Jin yang baik) yakni suatu kali orang dayak tersesat di
jalan atau di hutan sampai-sampai lupa arah mau kemana saat akan pulang kembali
ke rumah mereka, maka yang mereka lakukan adalah memanggil sahabat mereka
supaya membawa mereka kembali pulang. Dalam kepercayaan orang dayak, kita akan
diletakkan di atas bahunya lalu dibawa terbang seperti aladin.
Selanjutnya Nyuruh(penjaga padi) yakni setiap orang Dusun Bayan yang mempunyai
ladang padi akan selalu memberi persembahan sesajian kepada sang penguasa kesuburan yakni Nyuruh. Biasanya dilakukan saat biji
padi sudah muncul dan kalau dipegang sudah terasa sudah ada buah di dalam kulit
biji padi milik mereka. Sesajian yang akan diberikan kepadanya
yakni dalam bentuk beras 3 warna putih(beras putih biasa), kuning(dengan warna
kunyit) dan merah(dengan darah ayam berbulu putih). Dalam kepercayaan orang
Bayan ini harus dilaksanakan tiap kali berladang. Tujuannya supaya padi mereka
berhasil, berbuah banyak, tidak dimakan hama tikus, burung pipit dan belalang.
Yang penting lagi yakni jangan sampai
semua padi mereka busuk hingga mereka tidak beroleh hasil. Tidak berhasil bagi
orang dayak artinya nyuruh
marah karena tidak ijin dan tidak memberi hormat kepadanya kerena ia adalah
penguasa atas segala kesuburan tumbuh-tumbuhan yang ada di atas bumi.
Ada sebuah pengalaman yang menarik
ketika saya masih berada di sana. Waktu itu saya sangat takut sekali jika
mendengar nama-nama hantu misalnya” jin
tatau wale bulau” yang katanya sangat baik bisa menjadi sahabat beberapa
orang Dayak kami. Jin tatau wale bulau
adalah sosok roh yang sangat tinggi dan besar. Ia mempunyai pakaian lengkap, di
mana warnanya sangat cerah penuh dengan cahaya kuning berkilauan. ia bercelana
panjang dan bersepatu sangat indah. Di atas kepalanya terdapat topi unik
semacam aladin. Ada cerita dari beberapa
orang kampug kami yang mengatakan bahwa
pernah suatu kali seorang perempuan ditangkap sekelompok ngayau atau kelompok pencari kepala pada masa sebelum penjajahan di
Indonesia. Perempuan itu dibawa ke sebuah tempat yang sangat jauh sekali dari
kampungnya dan bahkan ia pun tidak kenal dengan tempat di mana ia berada saat
itu. Ia sangat ketakutan. Ia disekap di dalam sebuah rumah besar seperti
pabrik, di situ ia melihat ada banyak kepala bergantung seperti tempat
pemotongan daging sapi dan di sana sini terdapat banyak darah yang membuat
suasana tempat itu tidak nyaman lagi yakni bau amis dari darah manusia. Ada banyak
lalat juga di mana-mana. Perempuan ini tidak bisa tidur. Maka sebagai orang
Dayak, ia kemudian pasrah kepada Ranying Hatalla atau Yang maha kuasa. Ia memanggil
sahabatnya jin tatau wale bula ini
untuk membawanya keluar dari tempat ia disekap ini lalu membawanya kembali
pulang kepada kedua orang tuanya. Ia selamat dari bahaya kematian. Sesampainya
ia dirumah, seluruh keluarga berkumpul
untuk mengadakan syukur dengan berjanji akan selalu memberi sesajian kepada jin tatau wale bulau. Demikianlah ceritanya
lengket di ingatan orang-orang kampung kami hingga
sekarang.
Melihat kenyataan tersebut kiranya betul
bahwa “Kepercayaan kepada makhluk dan
kekuatan supernatural, pertama, terpelihara oleh apa yang diterangkan sebagai
manifestasi kekuatan. Kedua, kepercayaan itu tetap lestari karena makhluk
supernatural memiliki sifat-sifat yang terkenal bagi rakyat”[12].
Inilah alasan utama bagi orang Dayak Dusun Bayan hingga kini tetap menjaga
ritual kepercayaan mereka.
III. Sistem Kepercayaan orang Dusun Bayan akan roh-roh
jahat
3.1
Kepercayaan
akan roh-roh jahat
Menurut R.I.Made
Sudhiarsa, bahwa “Ada dunia di luar batas
akal budi manusia yakni dunia supernatural atau dunia alam gaib yang dihuni
oleh makhluk dan kekuatan yang tak bisa dikuasai oleh manusia dengan cara-cara
biasa. Dunia alam gaib itu pada dasarnya ditakuti oleh manusia”[13].
Itulah mengapa masyarakat
Dayak Dusun di Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah memiliki kepercayaan
terhadap roh-roh dan magi. Menurut
kepecayaan adat Dayak Dusun Bayan,
roh-roh itu tidak semuanya jahat sebab ada pula yang baik dan seringkali
membantu seseorang saat berada dalam bahaya.
Roh baik disebut sahabat(pelindung)
dan roh jahat disebut Liak(pengganggu
manusia). Itulah yang membuat orang Dayak itu bernuansa mistis.
Saat berkomunikasi
dengan roh leluhur atau makhluk halus, manusia harus memiliki sikap
pengendalian diri. Walaupun Ranying Hatalla telah mengizinkan manusia untuk
berkomunikasi dengan mereka, manusia tetap harus ingat bahwa dirinya harus selalu dalam keadaan waspada
dan menghindari keserakahan. Bahayanya ialah apabila tidak berhati-hati dan
tidak memahami dengan benar, mungkin saja malah terjadi kesalahan yang fatal.
Parahnya lagi, bukan roh baik yang
dituju namun roh jahat yang menipu dan menyesatkan dan mencelakakan
manusia.
Ada juga beberapa roh jahat,
diantaranya:
Pertama, ada roh
jahat yang bernama Liak. Liak adalah sosok roh yang berwujud mengerikan,
dengan lidah menjulur panjang hingga ke perutnya. Matanya sangat tajam dan
berpakaian tidak teratur. Ia berjenis kelamin laki-laki dan tinggal di udara.
Ia sangat ditakuti oleh masyarakat kami, sebab ia bersifat merusak kedamaian
antar keluarga di kampung. Ia suka mengganggu. Ia juga bisa menyebabkan
penyakit aneh yang sulit disembuhkan oleh pihak medis di rumah sakit manapun.
Penyakit itu semacam kutukan. Obatnya
hanyalah minta maaf kepada Liak, lalu memberinya makan sesajian dan menyuruhnya
untuk pergi jauh dan jangan mengganggu lagi.
Angui mama
lengai bungai adalah sosok roh yang sifatnya
seperti bunglon di mana wujudnya selalu berubah-ubah dan ia menyesatkan
manusia. Ia berjenis kelamin perempuan.
Ia tinggal di pohon-pohon dalam hutan lebat. Sudah ada beberapa orang
Dayak Dusun yang tidak pulang ke rumah mereka, karena telah dikecohkan oleh roh
jahat ini. Cara yang sampai sekarang masih dipercayaai yakni dengan mengadakan balian. Balian harus dilakukan oleh
pihak keluarga dengan mengundang semua orang di kampung lalu secara
bersama-sama berdoa kepada Ranying Hatalla supaya ahli balian diberi petunjuk arah
di mana dan bagaimana menuju ke
tempat orang yang hilang
tersebut. Selanjutnya pada pertengahan
upacara balian itu, ahli balian akan pergi ke luar rumah menuju
ke hutan sekitar kampung dengan jangka waktu yang tidak pasti, sebab kadang ia
bisa kembali esok paginya dengan membawa kembali orang yang hilang tersebut ke
rumah. Oleh karena itu, pihak keluarga wajib memberi sesajian(ancak) kepada roh tersebut setiap malam
Jumat agar ia tidak mengganggu keluarga mereka lagi di kemudian hari.
Rajan
peres adalah sosok roh jahat yang
merupakan sumber penyakit bagi semua orang Dayak Dusun. Ia tinggal di udara. Ia
berjenis kelamin laki-laki dengan berpakaian seperti seorang raja setan yang
selalu mengawas-awasi semua orang dari atas. Siapa saja yang lalai dalam berdoa
kepada Ranying Hatalla lalu sibuk dengan kegiatan keduniawian, orang tersebut
akan diberi penyakit. Salah satunya cara untuk bisa sembuh yakni dengan berdoa
kepada Ranying Hatalla yang Mahakuasa supaya diampuni kesalahannya lalu tidak
boleh lupa bahwa orang yang sudah disembuhkan itu berkewajiban memberi sesajian
setiap malam Jumat.
Nyaring
pampahilep adalah sosok makhluk jadi-jadian
yang suka mengganggu manusia. Ia berwujud tidak jelas karena sulit untuk
berjumpa dengannya. Yang pasti ia bersuara nyaring di tengah hutan. Terkadang
ia bernyanyi, berteriak atau menangis seperti perempuan yang minta tolong di
siang hari. Banyak orang Dayak yang tertipu oleh suara tersebut lalu esok
harinya orang tersebut ditemukan mati dengan kondisi yang sangat menggenaskan.
Orang Dayak langsung tahu bahwa itu adalah akibat dari perbuatan nyaring pampahilep. Warga kampung pada
malam harinya harus mengadakan upacara balian
memohon kepada Ranying Hatalla supaya semua warga dilindungi dari roh jahat
itu. Sesajian harus diberikan kepada roh jahat itu agar ia tidak mengganggu
atau membunuh lagi. Boleh dikatakan bahwa warga berdamai dengan roh tersebut
dan tetap hidup berdampingan.
Tamang Tarai Bulan Tambun Pantun
Garantung atau disebut juga Raja Sial. Ia berjenis kelamin
laki-laki. Ia tinggal di Bukit Handut
Nyahu Kereng Tatabat Kilat(di daerah gunung dan perbukitan). Tugasnya ialah mendatangkan kesialan,
kekejaman, kecelakaan, dan kerugian bahkan kematian kepada manusia. Maka cara
biasa yang dilakukan oleh orang Dayak yakni melaksanakan Ritual Tolak Bala. Tujuannya ialah meminta
kepada roh jahat ini supaya menjauh dari kehidupan warga dan tidak mengganggu segala
rencana yang akan dilakukan oleh warga. Mereka hidup berdampingan dengan rukun
dan damai serta tidak akan ada musibah esok hari.
Bansi adalah sosok roh jahat yang berjenis kelamin perempuan
dengan tidak berpakaian sedikitpun. Ia mempunyai payudara yang besar dan
menjuntai ke bawah. Rambutnya panjang tidak bersisir rapi. Ia tinggal di hutan.
Ia suka mengganggu laki-laki karena ia ingin agar laki-laki tersebut menjadi
suaminya di hutan. Orang Dayak percaya bahwa laki-laki tersebut mungkin akan
pulang dengan selamat tetapi ia tidak lagi mempunyai penis dan buah jakar sebab
sudah diambil oleh roh tersebut. Sampai sekarang saya masih belum tahu cara
mengatasinya.
Selanjutnya, Raja Hantuen atau Raja Haramaung Batulang Bunu Balikur Talawang. Ia berjenis kelamin
laki-laki. Ia tinggal di pohon-pohon besar dekat kampung. Ia merupakan sumber
petaka dan kerusuhan. Ia juga sering memperalat manusia yang hidup sebagai
keturunan hantuen, di mana diketahui
bahwa keturunannya ini berwujud manusia yang mengganggu dengan meminum darah
manusia yang baru saja melahirkan. Terkadang ia mengganggu ibu hamil pada malam
hari. Ia hantu yang dengan kepala dan isi perutnya terbang di udara. Sampai
sekarang keturunan roh ini masih ada tetapi sulit untuk bisa membedakan dan
mengetahui apakah orang tersebut keturunan hantuen(makhluk
jadi-jadian).
3.2
Praktek-praktek
Ritual magis
Upacara ini
tidak harus dipimpin mantir, karena bisa saja dipimpin oleh kepala
keluarga(kakek atau ayah) yang bisa melakukan babasaan balian. Selama upacara, kemenyan dan akar tumbuhan yang
berbau wangi dibakar di atas perapian, dan tidak boleh mati. Lalu, ahli balian tadi mengadakan ngokoi okan(memberi makan roh). Ayam
disembelih dengan darah direciki ke tanah, tidak lupa beras dengan tiga warna
ditaburi ke udara. Selanjutnya, lemang digantung di atas sebuah tiang atau
diletakan di atas sebuah meja kecil yang tidak boleh lagi diambil atau disentuh
oleh manusia. Dalam doa balian meminta
supaya roh jahat mau menjauh dan
tidak mengganggu segala kegiatan manusia dalam suatu kampung. Artinya, dunia,
kekuatan-kekuatan vital, hujan dan kesuburan diperbaharui serta roh-roh leluhur
dipuaskan dan keamanan mereka dijamin[14].
Lalu para pelaku menjadi setara dengan masa lampau yang suci dan melanggengkan
tradisi suci serta memperbaharui fungsi-fungsi dan hidup[15]
warga masyarakat tertentu. Contohnya, di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara,
umat Kaharingan berkumpul di Balai Basarah untuk menggelar ritual yang disebut Tolak Bala sebelum menyambut Tahun Baru[16]. Ritual ini selalu diadakan setiap tahun. Tolak Bala adalah upacara dengan memberi
batas antara kehidupan manusia dan roh
jahat supaya roh jahat tidak mengganggu
manusia. Upacara dilakukan dengan membakar kemenyan dan bebatuan yang merupakan
tradisi leluhur Dayak Dusun Bayan. Tujuannya yakni memohon kepada Ranying
Hatalla hati yang bersih dan suasana sekitar menjadi rukun. Diakhiri dengan
dibacakannya ikrar bersama yang berisi beberapa
poin yakni meminta Gunung Peyuyan, Gunung Peyenteau dan Gunung Lumut di wilayah
Kecamatan Gunung Purei agar dilindungi dan dipelihara dari perbuatan orang yang
tidak bertanggung jawab. Sebab Hutan adalah sumber hidup orang Dayak maka tidak
boleh ada perambahan dan perusakan.
Setiap upacara adat Dayak Dusun Bayan selalu menggunakan
beras karena beras adalah media komunikasi antara Manusia dengan Ranying
Hatalla. Beras biasanya ditaburkan ke udara sebanyak tujuh kali sambil
berhitung dan juga ditaburkan sedikit ke atas manusia yang disebut Tampung tawar biasanya dengan sambil
mengucapkan Kuur murue yang artinya
semoga kamu dilindungi oleh Ranying Hatalla.
3.3
Benda-benda
fisik dalam Ritual magis
Untuk semua Roh
halus yang jahat dan suka mengganggu
harus diberikan:
1.
Weah bura mea
melintang(Beras
biasa, beras warna kuning kunyit, dan beras dengan merah darah ayam putih)
2.
Piak upe(ayam jantan
warna putih)
3.
Weah pulut(beras ketan)
yang dibungkus dengan daun pisang lalu dibentuk seperti lemang dengan kedua
ujungnya diikat dengan tali dari kulit pisang juga. Bisa juga lemang dengan
bambu.
4.
Parapen(perapian)
5.
Menyan, wakat
Daon Rahikit(Kemenyan
dan akar tumbuhan berbau wangi)
IV.
Upacara
Sakral
1.
Wara
Masyarakat
Dayak Dusun di Kalimantan Tengah memiliki upacara adat yang sangat sakral.
Upacara tersebut dinamakan wara. Upacara sakral ini mirip dengan upacara ngaben
yang biasa dilakukan masyarakat Hindu di Bali. Upacara ini bagi penganut agama
Hindu Keharingan di Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari sekian banyak
upacara adat yang memiliki nilai ritual dan sakral yang sangat tinggi, khusus
yang ditemui dalam upacara adat kematian.
Masyarakat
Dayak membedakan manusia dalam tiga dimensi siklus, yaitu manusia sebelum
lahir, manusia setelah lahir yang dinamakan alam kehidupan (dunia) dan manusia
setelah kehidupan (alam surga atau syurga loka). Siklus ini selalu ditandai
dengan berbagai upacara adat yang berurutan sejak seorang manusia masih dalam
kandungan hingga setelah meninggal dunia.Menurut kepercayaan masyarakat Dayak
yang memeluk kepercayaan Keharingan upacara ini memiliki nilai ritual tertinggi
dibandingkan dengan upacara adat sebelumnya. Dalam upacara ini, roh yang
sebelumnya menunggu di Gunung Lumut salah satu tempat yang dianggap sakral oleh
masyarakat Dayak di pedalaman sungai Tewei (Teweh) dipanggil kembali untuk
menerima sesajen dan pensucian sebelum dihantar ke syurga loka (tempat suci).
Upacara
adat wara adalah upacara adat kematian yang dilakukan oleh masyarakat
Kaharingan untuk mengantarkan arwah leluhur ke tempat paling akhir yang disebut
lewu tatau (surga) . Wara merupakan ritual upacara dalam rangka membagikan
bagian harta benda kepada arwah kakek, nenek atau orangtua atau saudara dari
keluarga – keluarga penyelenggara upacara wara yang telah meninggal satu atau
dua tahun yang lalu. Pembagian harta benda tersebut dilambangkan dalam bentuk
sesajen berupa makanan dan minuman sesuai makanan kebiasaan arwah orang yang
diupacarai tersebut. Upacara Wara biasanya berlangsung selama tujuh hari tujuh
malam.
Upacara
Wara dipimpin oleh Wadian Wara yang berperan sebagai penghubung antara manusia
dengan arwah . Wadian Wara dibantu oleh pelayan-pelayannya yang disebut Pangading.
Mereka melakukan upacara demi upacara, misalnya ; makan diau (memberi makan arwah), dan nutui lalan diau nuju gunung lumut (mengantar arwah dalam
perjalanan ke surga).
Prosesi
hari pertama adalah ngamaner wara artinya menyerahkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan roh yang diupacarai kepada wadian wara.
Proses
pada hari kedua sampai hari ke tiga adalah keluarga penyelenggara menerima tamu
baik dari desa sendiri maupun dari desa sekelilingnya, yakni tokoh-tokoh
masyarakat.
Hari
keempat acara Babea-Babebe yakni acara membuat ansak berupa anyaman
bambu sedemikian rupa sebanyak arwah yang diupacarai wara, untuk tempat sesaji.
Hari
kelima adalah acara newek karewau atau penusukan kerbau (acara adu berani menikam
kerbau) yang merupakan klimaks dari rentetan upacara ini. Penusukan kerbau
dilakukan oleh petugas dari keluarga–keluarga yang diupacarai dengan ditusuk
menggunakan lading atau badik atau pisau lancip sedangkan kerbaunya diikat pada
Pantogor
yakni patung arwah yang diupacarai yang terbuat dari kayu ulin setinggi
lebih kurang 3 meter yang ditancap di tanah lapang. Begitu menariknya upacara
adat ini, biasanya yang datang bukan lagi dari lingkungan satu desa atau desa
tetangga. Tak jarang ada pula penduduk dari kabupaten lain yang mengirimkan
wakilnya untuk ikut adu keberanian menikam kerbau.
Acara
ini mirip dengan matador di Spanyol. Hanya bedanya melawan kerbau, bukan
Banteng. Menurut ketentuan adat, setiap peserta yang mengalami cedera atau
korban jiwa dalam pertarungan ini tidak dapat menuntut jaminan kecuali sebuah
piring porselen putih.
Biasanya
peserta yang tampil di gelanggang adalah orang pilihan atau yang memiliki
kelebihan tertentu. Oleh karena itu sangat jarang ada kasus korban jiwa dalam
pertarungan melawan kerbau ini.
Selesai
pembunuhan kerbau dilanjutkan dengan memasak dan makan bersama tamu undangan.
Sesaji yang telah ditaruh di atas ansak seperti yang disebut diatas dan harta
benda lainnya diantar ke kuburan oleh masing-masing keluarga pada hari keenam.
Pekuburan tempat bersemayamnya tulang-belulang nenek moyang kaum keluarga warga
Dayak Dusun Kalahien disebut Si’at
yang rata-rata diberi atap dengan 4 tiang penyangga dan diakhiri dengan
pelepasan salimbat (rakit bambu) yang
melukiskan kepergian roh menuju Lewu
Tatau (Surga) pada hari ketujuh.
Upacara
Wara dari hari pertama sampai hari kelima biasanya diiringi dengan ritual main
judi dan sabung ayam ala Liau (roh
yang telah meninggal) antara manusia dengan Roh yang telah meninggal, serta
permainan Tinak Santukep. Perlambangannya adalah agar roh mendapatkan
kemakmuran di Lewu Tatau (surga)
Upacara
adat ini merupakan aset budaya Dayak di Kalimantan Tengah dan merupakan salah
satu dari sekian banyak upacara adat yang sangat menarik dan perlu
dilestarikan. Sayangnya, kendati tidak kalah menariknya dengan ngaben di Bali
atau upacara serupa di Tana Toraja, upacara adat ini merupakan aset wisata yang
masih terpendam di Kalimantan Tengah.
Contoh:
Pendreh adalah nama
sebuah desa yang terletak di Kabupaten Barito Utara, tepatnya lebih kurang 20
km dari Kota Muara Teweh Ibukota Kabupaten Barito Utara melalui jalan Negara ke
arah Selatan.Di desa Pendreh dan beberapa desa sekitarnya di tepi Sungai Barito
menyebar satu sub suku dayak yakni Dayak Dusun. Di desa inilah tepatnya di
pinggir Sungai Barito, upacara ritual wara dilaksanakan pada sebuah balai yang
dibuat khusus untuk upacara tersebut tepat dimuka rumah Bapak Imul Done. Wara
merupakan ritual upacara dalam rangka membagikan bagian harta benda kepada
arwah kakek, nenek atau orangtua atau saudara dari keluarga penyelenggara
upacara wara yang telah meninggal satu atau dua tahun yang lalu. Pembagian
harta benda tersebut dilambangkan dalam bentuk sesajen berupa makanan dan minuman
sesuai makanan kebiasaan arwah orang yang diupacarai tersebut.Upacara wara kali
ini mengorbankan 8 ekor kerbau, serta 60 ekor babi belum terhitung ayam. Yang
menjadi wadian wara atau petugas khusus berhubungan dengan roh jiwa orang
meninggal yang di upacarai adalah Wadian wara dengan kostum pakai ikat kepala
putih. Wadian Wara dibantu oleh pelayan-pelayannya yang disebut Pangading.
Mereka melakukan upacara demi upacara, misalnya ; makan liau (memberi makan
arwah), dan nutui lalan liau nuju gunung lumut ( mengantar arwah dalam
perjalanan ke surga). Prosesi hari pertama adalah ngamaner wara artinya
menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan roh yang diupacarai kepada
wadian wara. Proses pada hari kedua sampai hari ke tiga adalah keluarga
penyelenggara menerima tamu baik dari desa Pendreh sendiri maupun dari desa
sekelilingnya,seperti Desa Parawen,Desa Lemo,Hajak,dan lain2nya. Hari keempat
acara Babea-Babebe yakni acara membuat ansak berupa anyaman bambu sedemikian
rupa untuk tempat sesaji setelah dilakukan pembunuhan kerbau besoknya pada hari
kelima. Tokoh yang hadir pada hari kelima adalah, Ketua Majelis Daerah Agama
Hindu Kaharingan Bapak Anang Ijub, pejabat Pemerintahan setempat. Sebelum
penusukan kerbau, ada ritual main judi dan sabung ayam ala Liau (roh yang telah
meninggal) antara manusia dengan Roh yang telah meninggal, serta permainan
Tinak Santukep. Pembunuhan kerbau dilakukan oleh petugas dari keluarga yang
diupacarai dengan ditusuk menggunakan lading atau badik atau pisau lancip.
sedangkan kerbaunya diikat pada Pantogor yakni patung arwah yang diupacarai
terbuat dari kayu ulin setinggi lebih kurang 3 meter yang ditancap di tanah
lapang. Selesai pembunuhan kerbau dilanjutkan dengan memasak dan makan bersama
tamu undangan. Sesaji yang telah ditaruh di atas ansak seperti yang disebut
diatas dan harta benda lainnya diantar ke kuburan oleh keluarga pada hari
keenam atau hari terakhir wara. Pekuburan tempat bersemayamnya tulang-belulang
nenek moyang kaum keluarga warga Dayak Dusun Pendreh disebut Si’at yang
rata-rata diberi atap dengan 4 tiang penyangga, tetapi ada juga yang
disemayamkan di Kariring semacam kotak mayat memuat beberapa tulang belulang
mayat keluarga ditempatkan diketinggian lebih kurang 3 meter dari permukaan
tanah.
V.
Filosofi
Hidup
Burung Tingang
Dalam
Teologi Agama Hindu, manusia dikatakan adalah miniatur alam semesta
dengan unsur alam yang ada di dalamnya seperti air, tanah, udara, api, dan
ether. Sehingga, manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan yang saling
ketergantungan satu sama lain.
Agama
Hindu Kaharingan yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu
kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Menurut Hindu Kaharingan,
yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan
maya adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan sudah
masuk ke ranah metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh indria
dan tidak dapat diterima secara logika (akal sehat).
Kedua
alam kehidupan ini dapat saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. Sehingga, hal tersebut menjadi latar belakang utama
keyakinan umat Hindu Kaharingan terhadap adanya kehidupan dan kekuatan
supranatural yang sangat dekat dengan kehidupannya. Keyakinan tersebut juga
menjadi alasan utama munculnya tiga kerangka dalam setiap kehidupan
religiusnya, yaitu upacara (acara keagamaan/ritual keagamaan), upakara (sarana
dan prasarana dalam sebuah ritual keagamaan), dan tattwa/filsafat (makna dari
simbol-simbol dan setiap ritual keagamaan) yang menjadi benang merah utama
Hindu dan kaharingan.
Salah
satunya, upakara dalam persembahyangan umat Hindu Kaharingan yaitu
“Bulu Burung Tingang” yang biasanya digunakan sebagai sarana utama yang
ada di Sangku Tambak Raja. Bulu indah dengan tiga warna yang selalu
teratur, yaitu; putih, hitam, dan putih. Bukan tanpa alasan leluhur suku Dayak
menggunakan bulu burung Tingang sebagai sarana utama persembahyangan (Basarah).
Selain aspek religi dan magis yang terdapat dalam setiap upakara umat Hindu
Kaharingan, daya intelektual mereka yang tinggi telah mampu
memberikan petuah yang sangat berharga di dalam sebuah bulu burung Tingang.
Dalam
bahasa Sangiang, bulu burung Tingang disebut Dandang Tingang, yang
merupakan percikan dari Danum Nyalung Kaharingan Belum (Air Suci
Kehidupan) yang diberikan Ranying Hatalla kepada Raja Bunu untuk
memberikan kehidupan kepada calon istrinya Kameluh Tanteluh Petak. Air
Suci Kehidupan itu ditempatkan di Luhing Patung Tingang (destar/ikat
kepala) milik Raja Bunu yang terlempar ke atas. Seperti tertulis dalam Panaturan:
“Ie Raja Bunu palus
malusut Luhing Patung Tingange, hapa nantalai Nyalung Kaharingan Belum, Guhung
Panaling Aseng bara Ranying Hatalla”
(Panaturan,
Pasal 27: Ayat 19)
Artinya:
Saat itu juga Raja Bunu
langsung melepaskan Luhing Patung Tingang-nya (destar/ikat kepala) untuk
tempatnya menerima atau menyimpan Air Suci Kehidupan dari Ranying Hatalla.
Setelah
itu destar tersebut berubah menjadi burung Tingang atau dalam bahasa Sangiang
disebut Tingang Rangga Bapantung Nyahu. Kemudian Ranying Hatalla menganugrahi
burung Tingang sehingga dapat dijadikan perantara permohonan dan ucapan
syukur kepada Ranying Hatalla. Makna filosofis dari tiga warna dalam
bulu burung Tingang adalah:
1) Warna putih bagian atas, berarti alam
kekuasaan Ranying Hatalla Langit ( Tuhan Yang Maha Esa) Ia yang
Maha Suci atau dalam keyakinan Hindu Kaharingan disebut Lewu
Tatau.
2) Warna hitam ditengah, berarti alam
kehidupan manusia didunia ini yang penuh dengan pertentangan, perselisihan,
baik antara kebenaran dengan ketidakbenaran.
3) Warna putih dibagian bawah berarti
kesucian yang dapat dicapai melalui usaha individu melawan ketidakbenaran
(adharma) yang pada saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan Hindu Kaharingan
yaitu sampai pada upacara Tiwah/Wara.
Sehingga,
suku Dayak Hindu Kaharingan memahami bahwa manusia berasal dari Ranying
Hatalla yang kemudian turun ke dunia untuk belajar tentang banyak hal yang
tidak jarang dapat membuatnya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Namun, tidak
ada kesempurnaan dalam kehidupan di dunia ini, karena dunia adalah lautan
penderitaan (samsara) atau Lewu Injam Tingang, kehidupan
sementara yang terus bergulir. Sehingga, dosa dan kebaikan adalah Rwa
Bhineda, hitam putih kehidupan yang selalu ada.
Batang
Garing(Pohon Kehidupan
Pohon
Batang Garing berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah
pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata
atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah
merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling
berhubungan dan saling membutuhkan.
Buah
Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan
tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai
keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Buah garing yang
menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi
yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan
antara dunia dan akhirat.
Tempat
bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat
kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Disinilah dulunya
nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum
sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan
demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal
sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di
dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa
manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada
bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa
asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari
merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit (Tuhan YME) yang
merupakan sumber segala kehidupan.Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini
adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam
dan manusia dengan Tuhan.
VI.
Siri-siri
Burung
- Antang Bahandang atau burung elang merah Cara terbang dan suara Antang atau Burung Elang memiliki arti khusus bagi orang Dayak. Lebih-lebih pada burung elang yang berwarna merah. Contoh gerakan tersebut antara lain: Apabila orang Dayak sedang mudik menumpang perahu, dalam perjalanan tiba-tiba berjumpa burung elang yang terbang dari arah kanan menuju ke arah kiri di depan perahu mereka, bisa jadi mereka balik kanan untuk membatalkan perjalanan tersebut karena burung elang telah memberikan peringatan kepada mereka bahwa di depan mereka ada bahaya menghadang. Apabila arah terbang Burung Elang dari kiri menuju ke arah kanan akan tetapi tanpa mengepakkan sayapnya, dan gaya terbang elang tersebut biasanya disebut sebagai elang menari, lalu terbang terus menuju ke udik baru kemudian terbang menuju arah perahu yang sedang mereka tumpangi. Inilah pertanda baik. Artinya niat yang ingin dicapai akan mendapatkan hasil maksimal. Apabila arah terbang Elang dari depan perahu menuju ke belakang dan tiba-tiba menangis, maksudnya elang tersebut mengeluarkan suaranya, serta menjatuhkan diri arah ke bawah, pertanda yang diberikan menyatakan bahwa di belakang mereka telah terjadi kecelakaan dan mungkin saja kecelakaan tersebut akan menimpa mereka pula. Bila di sebelah kiri perahu ada seekor elang sedang terbang, tiba-tiba dari arah kanan muncul lagi seekor elang yang langsung menyambar elang yang sedang terbang di sebelah kiri perahu hingga terjatuh, pertanda ini menyatakan bahwa akan terjadi kesalah pahaman dan perselisihan sepulang mereka dari perjalanan ini, namun kemenangan ada di pihak mereka. Bila munculnya elang dari arah belakang perahu, kemudian terbang searah menyertai perahu namun tiba-tiba menangis, Pertanda yang diberikan menyatakan bahwa tujuan perjalanan akan berhasil namun sekembalinya dari perjalanan, kesusahan bahkan mungkin akan menderita sakit akan dialami. Terbangnya elang dari sebelah kiri kemudian terbang menuju arah kanan dan tiba-tiba mundur ke belakang, bahkan menangis dan menjatuhkan diri, berarti waspada. Bahaya akan segera menimpa mereka. Sebaiknya bila menerima pertanda demikian, batalkan perjalanan minimal tiga hari istirahat di rumah, baru mengadakan perjalanan lagi. Tangis burung elang terdengar di waktu malam pertanda kerusuhan bakal terjadi di kampung sekitar. Seekor elang tiba-tiba terbang sambil menangis masuk ke dalam rumah, pertanda pemilik rumah harus waspada karena ada seorang penghianat yang akan membuat keonaran di rumah tersebut. Bila dalam suatu upacara tiba-tiba muncul seekor burung elang dan terbang melayang di atas lokasi upacara, kemudian menjatuhkan dirinya hingga nyaris menyentuh bumbungan rumah, pertanda akan terjadi kerusuhan dengan pertumpahan darah.
- Burung Pantis, Burung Bakutok, Burung papau, dan Burung Salehei Keempat jenis burung ini bulunya berwarna hitam, dan biasanya orang Dayak tidak pernah membunuh apalagi menyantapnya. Jenis burung ini banyak ditemukan di hutan atau di hulu sungai dan jenis ulat-ulatan adalah makanannya. Kebersatuan dengan alam menyebabkan leluhur orang Dayak sangat memperhatikan dan selalu mengamati dahiang dan segala pertanda alam di sekitarnya. Demikian juga dari gerakan dan suara burung, mereka mampu membedakan bagaimana suara burung yang menunjukkan kegembiraan atau tertawa dengan suara burung yang menyatakan kesedihan atau menangis, dan kadang-kadang mereka menyaksikan burung yang pingsan mendadak, hal tersebut juga mempunyai arti tertentu. Apabila salah satu dari keempat jenis burung ini muncul di suatu kampung atau terbang melewati bawah rumah penduduk, karena dimasa lalu rumah-rumah penduduk berukuran tinggi, untuk menghindari banjir dan binatang buas, maka burung tersebut memberikan pertanda tidak menyenangkan bagi penduduk kampung tersebut. Begitu pula apabila orang Dayak pergi berburu masuk ke dalam lebatnya hutan, kemudian mereka mendengar bunyi suara burung pantis, mula-mula suara burung terdengar disebelah kiri mereka kemudian terdengar lagi suara burung itu dari sebelah kanan mereka, pantis tujuh, pertanda perburuan akan mengalami kegagalan bahkan bencana akan menimpa. Sebaiknya perburuan dibatalkan. Namun apabila yang terdengar adalah suara burung bakutok yang bunyinya terdengar dari sebelah kiri kemudian terdengar lagi disebelah kanan mereka, pertanda baik yang diberikan oleh suara burung bakutok tersebut.
- Burung Hantu Ada beberapa jenis burung hantu, diantaranya: burung hantuguk atau burung kukut, yang bersuara kooook…kooook…kooook, burung kangkamiak dan burung kambe. Burung berukuran besar dan berwajah kucing serta berbola mata besar berparuh pendek, berkuku panjang, dan hidup di dalam lebatnya hutan rimba belantara Kalimantan dan hanya muncul di malam hari. Burung jenis ini sangat ditakuti karena dapat memakan manusia dan binatang yang di incarnya. Burung hantu termasuk jenis burung yang ditakuti karena menurut keyakinan ke tiga jenis burung yang yang disebutkan tadi dapat menjelma menjadi perempuan. Itulah sebabnya apabila pada malam hari terdengar suara salah satu dari ke tiga jenis burung tersebut, tanpa membawa daun sawang dan beras kuning, orang Dayak segan untuk keluar rumah. Apabila di malam hari di sekitar rumah penduduk terdengar suara burung hantaguk atau burung kukut menandakan bahwa salah seorang penduduk kampung akan meninggal dunia. Bila tiga malam berturut-turut terdengar suara burung hantaguk, tanda bahwa kampung akan diserang wabah penyakit. Namun apabila burung tersebut hinggap pada salah satu rumah penduduk, berarti salah seorang tetangga akan meninggal dunia. • Burung Kulang Kulit Sejenis burung hantu yang biasanya berkelompok dan kemunculannya di malam hari. Biasanya apabila kelompok burung kulang kulit muncul, tidak lama kemudian muncul mahluk halus.
- Burung Kaut Sekalipun burung kaut merupakan salah satu jenis burung hantu, namun kehadirannya dapat memberikan pertolongan kepada manusia. Apabila pada sebuah ladang ditemukan sarang atau telur burung kaut, pemilik ladang akan merasa sangat bersyukur karena keuntungan akan diperoleh. Oleh karena itu sajen yang diletakkan di ancak atau kalangkang atau tempat sajen digantungkan di bawah sarang burung agar dapat dimakan oleh burung kaut tersebut. Diyakini roh burung kaut akan berperan dan turut serta merawat dan menjaga padi yang sedang tumbuh.
- Burung Enggang atau Tingang Jenis burung ini pantang dimakan, karena dapat menyebabkan lepra basamah atau sakit lepra. Suatu hal yang unik apabila memasak daging burung tersebut pada sore hari, maka pada pagi harinya daging burung tersebut sudah keluar hama.
ular
Jenis-jenis ular yang dianggap mampu
memberikan pertanda kepada manusia ialah :
- Panganen atau ular sawah Apabila ditemukan ular sawah yang bertelur dalam sebuah rumah atau di lumbung padi ataupun dalam kandang ayam, pertanda bahwa pemiliknya akan memperoleh kesenangan. • Hanjaliwan atau sejenis ular kobra Apabila ular hanjaliwan masuk ke sebuah rumah bahkan memasuki kamar tidur, menandakan bahwa ada seorang yang akan bermaksud jahat bahkan hingga mengakibatkan kekacauan.
- Ular Tanunung Bertemu ular yang sedang berenang dari arah kanan ke arah kiri pertanda tidak baik, namun sebaliknya apabila yang berenang tersebut adalah ular tanunung dan arah berenang dari kiri ke kanan pertanda baik. Dalam suatu perjalanan di hutan kemudian bertemu ular tanunung sedang berkelahi dengan ular depung pertanda keuntungan besar kan segera di peroleh.
- Ular Depung Ketika sedang berjalan kaki dalam hutan, bertemu ular tanunung yang sedang berkelahi dengan ular depung, pertanda baik, keuntungan besar segera akan diperoleh.
Rusa
Bertemu
rusa berenang menyeberang dari kanan ke kiri, ketika sedang mengendarai perahu,
pertanda perjalanan akan tidak mulus karena akan mendapat gangguan orang atau
akan menderita sakit dalam perjalanan. Bila bertemu rusa sedang menyebrang di
depan perahu dari kiri ke kanan, pertanda yang diberikan sangat menyenangkan
karena niat perjalanan berhasil baik dan mendapat keuntungan.
Di malam hari terdengar suara rusa
menukiu atau bersuara nyaring namun sangat singkat dan suara itu terdengar dari
arah sebelah kiri rumah juga ditemukan ada pohon yang dahannya patah, pertanda
tetangga kampung atau bahkan salah seorang penghuni rumah akan mengalami sakit
keras bahkan mungkin sampai meninggal dunia. Apabila terdengar suara rusa dari
belakang rumah dan disahut oleh rusa lainnya dari arah depan rumah, pertanda
tamu dari jauh yang tidak diduga akan datang. Menemukan tanduk rusa yang telah
terlepas di ladang/sawah, pertanda baik, berarti sawah akan mendapatlkan panen
yang berlimpah.
Kupu-kupu
Kupu-kupu
yang terbang masuk rumah, kemudian terbang lagi masuk dalam kamar tidur bahkan
hinggap di tempat tidur, pertanda ada tamu yang datangnya dari jauh dan akan
menginap di rumah tersebut. Bila kupu-kupu menempel di pintu depan rumah,
pertanda akan kedatangan tamu dari sekitar kampung dan tamunya tidak menginap.
Kupu-kupu yang terbang masuk rumah, bahkan hinggap di kepala dan tangan,
pertanda keluarga dekat dengan keperluan penting akan datang mengunjungi.
Anjing
Saat
berburu dan mengajak anjing, kemudian anjing yang sedang berlari tiba-tiba
berhenti sambil menurunkan ekornya ke bawah dan mengeluarkan suara ngirrrr…ngirrr,
pertanda mahluk halus atau orang gaib berada disekitar anjing tersebut.
Kucing
Kucing
menyaup yang artinya menggosok-gosokkan tangan di mukanya pertanda akan ada
tamu berkunjung.
Totok
Bakaka
Totok Bakaka berarti sandi atau kode
atau bahasa isyarat yang umum dimengerti masyarakat suku Dayak.
• Tombak. Mengirim Tombak yang telah di-jernang, maksudnya tombak
yang diikat dengan rotan yang telah diwarnai merah berarti asang atau
pernyataan perang.
• Tombak Bunu. Mengirim Tombak Bunu, maksudnya tombak yang pada mata
tombaknya telah diberi atau ditandai dengan kapur, berarti mohon bantuan
sebanyak mungkin karena bahaya besar sedang mengancam.
• Abu. Mengirim Abu berarti ada rumah terbakar.
• Seruas Bambu yang Terisi Air. Mengirim Seruas Bambu yang terisi air, berarti
pemberitahuan ada seorang yang telah meninggal dunia karena tenggelam, biasanya
tanpa menyebutkan nama korban.
• Kirim Cawat yang Telah Dibakar Ujungnya. Mengirimkan cawat yang
ujungnya telah dibakar berarti pemberitahuan bahwa seorang keluarga yang telah
berusia lanjut meninggal dunia.
• Kirim Telur. Mengirim Telur berarti pemberitahuan bahwa telah
datang seorang yang berasal dari jauh masuk kampung mereka untuk menjual
balanga, tempayan dan tajau. Benda-benda tersebut dianggap istimewa karena
memiliki nilai sakral dan menunjukan status sosial dalam masyarakat.
• Kinangan (sirih pinang). Mengirim kinangan kepada suatu keluarga
berarti akan meminang salah satu anak gadis dalam keluarga tersebut.
• Daun Sawang. Bila masuk pada suatu kampung dan menjumpai sebuah
rumah yang pada pintunya ditemukan daun sawang yang diikat tali dan ada gambar
persegi empat dengan menggunakan kapur sirih, berarti dilarang masuk. Sekalipun
hanya sekedar untuk mertamu, sebaiknya urungkan niat memasuki rumah tersebut karena
keluarga dalam rumah tersebut sedang berpantang menerima kehadiran siapapun
juga mengunjungi rumahnya karena sedang menjalani larangan adat.
• Salugi. Salugi ialah tiang yang terbuat dari bambu runcing,
dipasang miring dan merupakan salah satu rambu-rambu lalu lintas belukar. Hal
ini menunjukkan bahwa arah miring yang ditunjukan oleh ujung bambu berarti
berhati-hati, karena di arah tersebut sedang dipasang “Dondang“ yaitu alat
perangkap yang digunakan untuk menangkap dan membunuh babi hutan, dan kijang.
Bila di kebun buah yang sedang berbuah ditemukan salugi yang telah digaris
dengan kapur dan diletakan diantara pohon-pohon buah, berarti larangan memungut
buah-buahan yang ada dalam kebun tersebut, karena buahnya akan dinikmati
sendiri oleh pemiliknya.Mengirim salugi berarti mohon bantuan, kampung dalam
bahaya.
Lagu Daerah Bahasa Dusun Bayan
1.
Koko piak
koko(sesuai irama kangkanong/kolintang)
Koko piak koko Koko la piak lawi sundra(D )
Koko andi ruko koko la andi olo pita(G A D)
2.
Tanjungruang
Tanjung ruang, de hampe, uneng taka(C Am
C)
Wahye taka tau, babujur, kite alan(C G
C)
Deo putut lukun ruhi, re naan, he
tambanu(C Am C)
Bagamat hu nu kitene, welumnu, jari
slamat(C G C)
Tenga
uyuh lukun pulou, awe sah nu ngaret,ne(C Am C)
Hawi hu nu wi Yesus, ne ye, Allah
taka(CGC)Amin(Am).
3.
O Inai Maria
O Inai Maria kamin tu anaknu(Am)
Nu Inai re buon he welum lukun tataNu
Nu Inai Yesus Kristus, buon, aheng Nu(Am C Am)
Nu ngahibur kamin, nu ngahibur kamin(Am
C)
Koit dua kamin ----wi Allah-- re Tatau
unengNe(Am)
4.
Ikut Yesus
hatiku senang(Gaya lagu Isen Mulang)
Ikut Yesus hatiku senang karna Dia
mengasihiku
Sungguh Luar biasa karyaNya di dalam
hidupKu
Segala cobaan kelemahan diubahNya jadi kekuatan
Sakit ku disembuhkan Nya --Karna
Kristus menyertaiku--
Aku selamat, dari dosa
Kini
kutenang dan penuh semangat
Aku selamat, dari dosa
Ku
Bahagia bersama Yesus
Kamus Budaya
Dusun Bayan:
5.
Jipen
Pernikahan yang diadakan oleh warga
kampung karena terpaksa atau darurat. Biasanya dikarenakan anak laki-laki dari
kampung lain membawa anak gadis mereka di tempat gelap lalu tertangkap basah.
Sebagai dendanya pihak laki-laki ditawarkan dua pilihan mau menikahi gadis
tersebut atau membayar utang(denda).
6.
Makan Tondoi
Memberi makan dewa penjaga kehidupan
7.
Bakasaki(perkawinan)
Pesta perkawinan dalam masyarakat adat
dayak dusun bayan
Banyak penjelasannya.
8.
Langit Losan(Alam gaib
Tembus pandang)
Cermin yang digunakan oleh orang sakti
dalam budaya dayak untuk melihat sesuatu yang tidak kelihatan oleh indra
manusia. misalnya kehilangan sesuatu lalu sampai kapan tidak tahu dan belum
tahu siapa pelakunya. Maka melalui cara inilah jawabannya terungkap.
9.
Ompan(Santet)
Ilmu hitam dalam budaya orang dayak
bayan yang bisa membuat sakit bahkan mencabut nyawa seseorang. Biasanya ini dilakukan
oleh manusia yang berhati jahat, mungkin karena dendam lama atau kebencian yang
sungguh luar biasa terhadap lawan/musuh mereka. Biasanya dengan media patung
yang ditusuk-tusuk atau diberi sesuatu saat saling berkomunikasi satu sama lain
atau bisa juga diambil salah satu milik mereka misalnya pakaian dalam atau ikat
rambut yang dicuri oleh yang akan menyantet tersebut.
10.
Tulak Bala(Mengusir Roh
Jahat)
Biasanya dilaksanakan oleh orang dayak
bayan setiap kali akan melakukan perjalanan jauh atau akan melakukan suatu
pesta besar misalnya perkawinan anak perempuannya atau kampung mereka akan
mengadakan acara pesta kampung, maka terlebih dahulu mereka harus meminta ijin
kepada yang maha kuasa supaya diberikan petunjuk dan perlindungan dan jauh dari
gangguang setan apapun yang bisa merusak rencana dari suatu keluarga dayak.
11. Nukan
Acara menanam padi di ladang orang dayak
yang dilakukan secara bersama atau gotongroyong, biasanya diadakan setiap dua
kali setahun.
12. Nolos popung
Upacara yang diadakan oleh semua keluarga
dayak bayan ketika mempunyai anak kecil yang sudah bisa merangkak. Bayi
tersebut harus dimandikan di dalam baskom besar, ritus ini semacam liturgi
baptis dalam agama Katolik. Lalu orang yang memandikan yakni harus lah kakek
dari bayi tersebut. Ada petan(lembing
dayak) sebagai tanda atau senjata
bagi si anak kecil tersebut supaya ia mampu menjalani hidup yang keras penuh
persaingan di dunia ini. Tujuan upacara ini adalah menandakan bahwa si anak
tersebut sudah diakui sebagai anak dayak bayan.
13. Ganan Taneranu
Adalah para penunggu/penghuni/penjaga
suatu tempat, batu, pohon beringin, gua, air sungai dan laut bahkan langit.
Mereka itu semuanya harus diberi sesajian oleh orang dayak supaya mereka tetap
setia menunggu bahkan tidak mengganggu atau marah dengan memberi suatu penyakit
yang tidak bisa disembuhkan oleh bantuan medis di rumah sakit manapun.
Satu-satunya cara untuk sembuh seperti sedia kala yakni orang yang sedang
mengalami sakit tersebut harus memohon maaf dan memberi sesajian nasi 3 warna
atau ayam putih yang panggang atau ayam putih yang langsung disembelih lehernya
di dekat tempat itu juga.
14. Mitos Gunung Lumut
Menurut kepercayaan orang Dayak Bayan
yang masih memeluk Kaharingan sebagai agama mereka, bahwa di atas puncuk gunung
Lumut itulah hidup roh-roh nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Bisa
dikatakan bahwa menurut kepercayaan Kaharingan puncak dari gunung tersebut
adalah surganya orang dayak. Roh nenek moyang mereka sudah tidak berwujud
manusia lagi melainkan sudah berwujud kupu-kupu, burung, udang, lebah, semut
dan lai-lain yang bisa hidup di gunung lumut.
15.
Malem Nyirom(Malam Jumat)
Bagi keluarga dayak Bayan, setiap malam
jumat tidak boleh mencuci piring, mangkok dan mengasah pisau atau ha-hal yang
berbau tajam berupa parfum, semuanya harus dibiarkan begitu saja. Satu hal lagi
yakni tidak boleh bersiul. Sebab kalau bersiul akan memanggil roh jahat untuk
mengambil nyawa kita dan kita bisa langsung mati di tempat. Roh itu yakni Bala
yang berkeliaran sekitar jam magribnya orang Islam. Katanya, menurut mitos
sahabat orang dayak yakni penunggu rumah-rumah akan memakan sisa-sisa makanan
kita langsung dari tempat cucian. Baru pada esok harinya, tipa keluarga boleh
mencuci semuanya.
16.
Tambahgahan(Jin yang baik)
Suatu kali orang dayak tersesat di jalan
atau di hutan sampai-sampai lupa arah mau kemana saat akan pulang kembali ke
rumah mereka, maka yang mereka lakukan adalah memanggil sahabat mereka supaya
membawa mereka kembali pulang. Dalam kepercayaan orang dayak, kita akan
diletakkan di atas bahunya lalu dibawa terbang seperti aladin.
17.
Ngokoi okan
Nyuruh(Dewi
Padi)
Setiap orang Dusun Bayan yang mempunyai
ladang padi akan selalu memberi persembahan sesajian kepada sang penguasa kesuburan yakni Dewi
Padi(Nyuruh). Biasanya dilakukan saat biji padi sudah muncul dan kalau dipegang
sudah terasa sudah ada buah di dalam kulit biji padi milik mereka. Sesajian
yang akan diberikan kepada Dewi Padi yakni dalam bentuk nasi 3 warna putih(nasi
putih biasa), kuning(dengan warna kunyit) dan merah(dengan darah ayam berbulu
putih). Dalam kepercayaan orang Bayan ini harus dilaksanakan tiap kali
berladang. Tujuannya supaya padi mereka berhasil, berbuah banyak, tidak dimakan
hama tikus, burung pipit dan belalang. Yang penting lagi yakni jangan sampai semua padi mereka busuk
hingga mereka tidak beroleh hasil. Tidak berhasil bagi orang dayak artinya Dewi
Padi marah karena tidak ijin dan tidak memberi hormat kepadanya kerena ia
adalah penguasa atas segala kesuburan tumbuh-tumbuhan yang ada di atas
bumi.
18.
Bakatane(Tunangan)
19.
Baratamput(kawin lari)
Rekenan(Hitungan)
Ire=Saturday
Rue=dua
Telu=tiga
Epat=empat
Dime=lima
Enem=enam
Pitu=tujuh
Walu=delapan
Siui=Sembilan
Sapuluh=sepuluh
Dhavamony,
M.,
Fenomenologi
Agama, Yogyakarta:
Kanisius.1995.
Mihing,
T, dkk.,
Geografi
Budaya Daerah Kalimantan Tengah, Palangka Raya: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1978.
Mikhail,
C.,
Manusia
Daya: Dahulu, sekarang, masa depan,Jakarta: Gramedia.1987.
Riwut,
T.,
Maneser Panatau Tatu Hiang,Yogyakarta:
Pusakalima. 2003.
Sudhiarsa,
R.I.Made Phd.,
Mempelajari
Manusia dan Kebudayaannya,Malang: STFT Widya Sasana. 2007.
Yunus,
A, dkk.,
Upacara
Tradisional(upacara kematian) Daerah Kalimantan Tengah, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan.1985.
Sumber Internet:
KOMPAS.COM. 15 Juli 2007
(http://bola.kompas.com/read/2012/01/04/16331560/Suku.Dayak.Gelar.Ritual.Sambut.Tahun.Baru) diakses pada
tanggal 10 November 2013.
[1] Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang,Yogyakarta:
Pusakalima. 2003.hlm. 63.
[2] Ibid. hlm. 19.
[3] Ibid. hlm. 20.
[4] Ibid. hlm. 478.
[5] Teras Mihing dkk, Geografi Budaya Daerah Kalimantan Tengah,
Palangka Raya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. hlm. 68.
[6] Ahmad Yunus dkk., Upacara Tradisional(upacara kematian) Daerah
Kalimantan Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.1985. hlm.
71.
[7] R.I.Made Sudhiarsa Phd,Mempelajari Manusia dan Kebudayaannya,Malang:
STFT Widya Sasana. 2007.hlm.194
[8]Op. cit.hlm.480.
[9] Op.cit. hlm. 481.
[10] Op.cit. hlm. 481.
[11] Op.cit. hlm. 483.
[12] Op.cit.hlm. 204.
[13] Op.cit.hlm. 204.
[14] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta:
Kanisius.1995. hlm.168.
[15] Ibid. hlm. 183.
[16] KOMPAS.COM. 15 Juli 2007 (http://bola.kompas.com/read/2012/01/04/16331560/Suku.Dayak.Gelar.Ritual.Sambut.Tahun.Baru) diakses pada
tanggal 10 November 2013.
Campur baur dia kasenan
BalasHapus